Jumat, 06 Februari 2009

HUKUM IBADAH APABILA DICAMPURI RIYA’

Pertama : apabila yang menjadi motivasi beribadah dari awalnya adalah riya, seperti seorang yang sholat untuk memperlihatkan kepada manusia dan tidak meniatkan untuk Allah, ini adalah syirik dan ibadahnya batil (tidak sah).

Kedua : riya’ mencampuri ibadah, misalnya di tengah-tengah ibadah, yaitu pendorong awalnya adalah ikhlas untuk Allah kemudian mucul riya ditengah-tengah ibadah. Jika ibadah tersebut (bagian) akhirnya tidak dibangun diatas awalnya, maka awalnya shohih dan akhirnya batil.
Contohnya : seorang yang telah menyiapkan seribu rupiah untuk bersedekah, lalu ia bersedekah lima ratus ikhlas karena Allah, dan pada lima ratus yang tersisa ia bersedekah karena riya’, maka yang pertama hukumnya shohih dan yang kedua batil.

Adapun jika ibadah adalah satu kesatuan yang tidak mungkin dipisahkan, bagian akhirnya dibangun diatas awalnya, maka untuk kasus ini ada dua keadaan :

Pertama :ia berusaha melawan riya’ dan tidak membiarkannya, akan tetapi ia membencinya maka yang seperti ini tidak berpengaruh bagi ibadahnya, karena Nabi shollallahu ‘alaih wasallama bersabda,
( إن الله تجاوز لي عن أمتي ما سوست به صدورها ما لم تعمل أو تكلم )
“Sesungguhnya Allah mema’afkan dari umatku apa-apa yang terlintas dalam dadanya selama ia tidak mengamalkannya atau membicarakannya” .[1]
Contohnya : seorang yang sholat dua rak’at ikhlas karena Allah Ta’ala, pada raka’at kedua ia merasakan kehadiran riya’ dan ia berusaha menolak dan menjauhkannya, maka yang seperti ini tidak mempengaruhi sholatnya.

Kedua : Sebaliknya, apabila ia tidak berusaha menolak riya’ ini dan merasa tentram dengannya, maka batalah seluruh ibadah, karena bagian yang terakhir terkait dengan yang awal.
Contohnya : seorang yang sholat dua rak’at lillahi Ta’ala, lalu pada rakaat kedua ia merasa dihinggapi riya karena ada orang yang melihat kepadanya, lalu ia memperturutkan riya tersebut dan tidak berusaha menolaknya, maka ibadahnya batil.

Ketiga : yang muncul setelah ibadah selesai dilakukan, ini tidak mempengaruhi ibadah, kecuali kalau melampui batas seperti menyebut-nyebut sedekah. Allah Ta’ala berfirman : “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian merusak sedekah-sedekah kalian dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (orang-orang yang diberi sedekah)”. (QS. Al-Baqoroh : 264).

Dan tidaklah termasuk riya’ jika seseorang merasa senang manusia mengetahui ibadahnya, karena ini muncul setelah selesai melakukan ibadah.
Sebagaimana juga tidak termasuk riya’ jika seseorang merasa senang karena telah mengerjakan ketaatan, bahkan itu adalah tanda keimanannya, karena Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallama bersabda, “Barangsiapa yang kebaikannya membuat ia senang dan perbuatan buruknya membuat ia tidak senang, maka itulah ia seorang mukmin”[2]. [3]

Tingkatan Riya’ :

Riya’ itu ada dua tingkatan :

Pertama : Riya’ Munafikin, yaitu menampakkan islam dan menyembunyikan kekufuran untuk menampakkan kepada manusia, dan ini pada dasarnya bertentangan dengan tauhid serta merupakan kufur akbar terhadap Allah Azza wa Jalla, oleh karena itu Allah mensifatkan mereka dalam Al-Qur’an : “Mereka memperlihat- lihatkan kepada manusia dan mereka tidak mengingat Allah melainkan sedikit sekali”. (An-Nisa’ : 142)

Tingkatan ke dua : seorang muslim atau muslimah yang riya’ dalam ibadah atau sebagian ibadahnya maka ini adalah syirik khofi (tersembunyi) bertentangan dengan kesempurnaan tauhid[4], dan inilah yang telah dipaparkan diatas.

Obat Riya’ :

Setelah kita ketahui bahwa riya’ merusak amalan, maka seyogyanyalah bagi seorang muslim untuk mengetahui obat riya’ dan terapi penyembuhannya serta berjuang menghilangkan riya’ dari hatinya.

Ada dua cara untuk mengobati riya’ :
Pertama : dengan mencabut akarnya.
Ke dua : menolak riya’ yang muncul ditengah ibadah.

Yang pertama : Mencabut akarnya
Akar riya’ adalah cinta kedudukan dan penghormatan, lebih detailnya cinta ini berakar kepada tiga hal; cinta nikmatnya sanjungan, lari dari pedihnya celaan, tamak pada apa yang ada ditangan manusia.
Ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallama dari sahabat Abu Musa Al-’Asy’ari semoga Allah meridhoinya ia berkata,
جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه و سلم فقال الرجل يقاتل حمية ويقاتل شجاعة ويقاتل رياء فأي ذلك في سبيل الله ؟ قال ( من قاتل لتكون كلمة الله هي العليا فهو في سبيل الله )
“Datang seorang laki-laki kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wasallama lalu berkata, ‘Hai Rasulullah, bagaimana menurutmu seorang yang berperang untuk dikatakan berani, berperang karena hamiyah, berperang karena riya’ siapa diantara mereka yang berada dijalan Allah?’, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallama bersabda, ‘Barangsiapa yang berperang untuk menegakkan Kalimatullah maka dia di atas jalan Allah”.[5]
Renungkanlah hadits yang mulia ini …berperang karena ingin disebut dan dikenang sebagai pemberani. Berperang karena hamiyyatan maksudnya takut dicela kalau kalah[6]. Berperang karena agar dilihat manusia ..bukankah itu semua menunjukkan lezat dan nikmatnya penghormatan dan kedudukan di hati manusia?!
Bisa jadi seseorang itu tidak ingin disanjung tetapi dia takut dicela. Tak obahnya seorang pengecut ditengah-tengah para pemberani. Dia akan mati-matian bertahan dan tidak kabur, takut kalau lari dicela. Atau contoh lainnya, seorang yang berfatwa tanpa ilmu karena takut jika tidak menjawab dikatakan jahil ..alangkah banyaknya jenis ini di masa sekarang ini, wallahul Musta’aan.
Senang dipuji, lari dari celaan, dan tama’ terhadap apa yang ada di tangan orang, inilah akar menggerakkan riya’ dalam hati.
Lantas apa obatnya? Insya Allah pada tulisan berikutnya (bersambung) .
__________________________________________________________
[1] Dikeluarkan oleh Bukhari : kitab Al-’Itqi bab. Al-Khotho’ wan Nisyan (no.2391) dan Muslim kitab Al-Iman bab. Tajawazullahi an Haditsin Nafsi. (no.127)
[2] Dikeluarkan oleh Ahmad di Al-Musnah (1/18, 26) dan At-Tirmidzi, kitab Al-Fitan, bab. Ma Ja-a fi Luzumil Jama’ah, dan Al-Hakim dan dishahihkannya, disetujui oleh Adz-Dzahabi (1/125) dan dishahihkan oleh Ahmad Syakir (114).
[3] Lihat : Majmu’ Fatawa Ibnul Utsaimin (10/705-707) .
[4] At-Tamhid Lisyarhi Kitabut Tauhid (398).
[5] Dikeluarkan oleh Al-Bukhari no. 7020 dan Muslim no. 5029.
[6] Mukhtashor Minhajul Qoshidin (284)

Tidak ada komentar: