Kaum kuffar dan orang Islam yang terpengaruh dengan pemahaman mereka, ketika membicarakan masalah poligami, mereka menganggap seakan-akan Islam mewajibkan bagi muslim pria untuk mempoligami wanita (baca : poligini), dan mereka menjadikan hal ini sebagai citra buruk bagi Islam. Padahal apabila mereka mau mengkaji dengan kaca mata obyektif dan mempergunakan akal sehatnya, niscaya mereka akan mendapatkan bahwa Islam adalah agama yang Rahmatan lil ’Alamien.
Menurut sebagian fuqoha’ (ahli fikih), Hukum poligami itu sama dengan hukum pernikahan, yang kembalinya kepada 5 kategori hukum :
1. Fardh/Wajib, apabila poligami tidak dilaksanakan, suami akan jatuh kepada keharaman, seperti perbuatan zina, selingkuh dan perbuatan asusila lainnya.
2. Mustahab/sunnah, apabila suami mampu dan memiliki harta yang cukup untuk melakukan poligami, dan dia melihat ada beberapa wanita muslimah (janda misalnya) yang sangat perlu dinikahi untuk diberikan pertolongan padanya.
3. Mubah/boleh, apabila suami berkeinginan untuk melakukan poligami dan ia cukup mampu untuk melakukannya.
4. Makruh, apabila suami berkeinginan untuk melakukan poligami sedangkan ia belum memiliki kemampuan yang cukup sehingga akan kesulitan di dalam berlaku adil.
5. Haram, apabila poligami dilakukan atas dasar niat yang buruk, seperti untuk menyakiti isteri pertama dan tidak menafkahinya, atau ingin mengambil harta wanita yang akan dipoligaminya, atau tujuan-tujuan buruk lainnya.
Dari 5 kategori ini, poligami dapat jatuh kepada 5 hal di atas. Ia dapat menjadi wajib, mustahab (dianjurkan), mubah (boleh-boleh saja), makruh ataupun haram.
Oleh karena itu, menggeneralisir bahwa poligami itu wajib adalah suatu pendapat yang tidak benar. Demikian pula dengan menuduh bahwa poligami selalu diawali dengan perselingkuhan adalah pendapat yang bodoh, yang berangkat dari ketidakfahaman akan syariat Islam yang mulia ini. Padahal, seringkali poligami itu menjadi solusi dan benteng dari terjadinya perzinaan, perselingkuhan ataupun keburukan lainnya; dan bisa jadi poligami itu menjadi penolong bagi para wanita dan janda-janda yang memerlukan pelindung atasnya dan anak-anaknya.
kriteria dan persyaratan seorang lelaki boleh berpoligami :
1. Tidak Lebih Dari Empat Isteri Dalam Satu Waktu
Di dalam pembahasan sebelumnya, sebagaimana tertuang dalam al-Qur’an surat an-Nisa` ayat 3 dan beberapa hadits yang telah lewat menunjukkan bahwa seorang lelaki tidak boleh beristeri lebih dari empat dalam satu waktu. Kecuali apabila salah satu isterinya meninggal lalu ia menikah lagi.
Alloh adalah Sang Kholiq (Maha Pencipta) yang mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya. Alloh juga paling mengetahui mengapa Ia memperbolehkan pria beristeri lebih dari satu dan membatasinya hanya empat isteri saja, tidak lebih dari itu. Syariat Alloh yang membatasi poligami tidak boleh lebih dari empat terkait dengan Pengetahuan Alloh Yang Maha Tinggi tentang kemampuan makhluk-Nya dan kemampuan mereka untuk dapat berbuat adil.
Seorang muslim laki-laki tidak boleh beristeri lebih dari empat. Apabila seorang laki-laki takut dan khawatir ia tidak dapat berlaku adil apabila ia memiliki isteri lebih dari satu, maka yang satu itu lebih baik baginya. Sama juga, bagi seorang pria yang telah beisteri dua orang dan ia tidak mampu lagi berbuat adil apabila ia menikahi seorang wanita lagi, maka yang dua itu adalah lebih baik baginya. Juga demikian bagi seorang pria yang memiliki tiga orang isteri.
Apabila ia khawatir tidak mampu berbuat adil untuk menikahi empat isteri maka hendaklah ia mencukupkan dengan yang tiga. Adapun seorang pria yang telah memiliki empat isteri, maka ia tidak boleh menikahi wanita lagi walaupun ia yakin ia mampu berbuat adil terhadap mereka semua. Karena syariat yang mulia telah membatasi jumlah maksimal poligami adalah empat.
2. Memiliki Kemampuan Untuk Berpoligami
Seorang muslim yang tidak memiliki kemampuan untuk berpoligami maka ia terlarang berpoligami, karena implikasinya akan membawa kepada penzhaliman terhadap kaum wanita dan anak-anak, sedangkan Alloh mengharamkan segala bentuk kezhaliman. Dan yang dimaksud dengan kemampuan di sini adalah kemampuan berupa harta, kesehatan fisik dan mental/psikologi.
2. Memiliki Kemampuan Untuk Berpoligami
Seorang muslim yang tidak memiliki kemampuan untuk berpoligami maka ia terlarang berpoligami, karena implikasinya akan membawa kepada penzhaliman terhadap kaum wanita dan anak-anak, sedangkan Alloh mengharamkan segala bentuk kezhaliman. Dan yang dimaksud dengan kemampuan di sini adalah kemampuan berupa harta, kesehatan fisik dan mental/psikologi.
Seorang pria yang tidak memiliki kemampuan harta untuk memberikan nafkah kepada dua orang isteri, maka tentu saja mencukupkan diri dengan satu isteri itu lebih utama dan baik. Seseorang yang nekad berpoligami sedangkan ia tidak memiliki kemampuan harta untuk menafkahi isteri-isteri dan ana-anaknya, tentu saja akan terjatuh kepada penzhaliman kepada isteri-isteri dan anak-anaknya. Kemampuan finansial ini merupakan kriteria mutlak diperbolehkannya seseorang untuk berpoligami.
Seorang muslim laki-laki haruslah sehat fisiknya, sehingga ia mampu bekerja untuk memenuhi nafkah isterinya. Seorang laki-laki dengan kesehatan fisiknya niscaya mampu menafkahi isterinya lahir dan batin. Kesehatan fisik juga berkaitan dengan kemampuan seksual. Seorang pria yang mengalami gangguan di dalam kemampuan seksualnya, misalnya impoten, maka dilarang untuk berpoligami. Karena, diantara hikmah pernikahan dan poligami adalah memelihara kehormatan dan kemaluan, apabila seorang pria tidak mampu menafkahi kebutuhan batin isterinya maka akan menyebabkan terbelenggunya dan terlantarnya fithrah dan tabiat wanita yang pada akhirnya jatuh kepada penzhaliman atasnya.
Kesehatan psikologi lebih mengacu kepada kemampuan di dalam memimpin dan mengatur keluarganya dengan keadilan. Seorang pria yang mengalami gangguan psikologi, seperti emosional, akan menyebabkan hilangnya keadilan di dalam rumah tangga. Kesehatan psikologi juga mengacu kepada keistiqomahannya di dalam menjalankan agamanya. Seorang pria yang tidak istiqomah di dalam melaksanakan ajaran agamanya, maka akan sangat rentan melakukan tindakan ketidakadilan dan penzhaliman terhadap keluarga (isteri-isteri dan anak-anaknya). Oleh karena itu, poligami yang tidak dibangun di atas syariat dan sunnah Nabi akan cenderung jatuh kepada keburukan dan kezhaliman di dalam rumah tangga.
3. Dapat Berlaku Adil Terhadap Isteri-Isterinya
Alloh Ta’ala berfirman :
فإن خفتم ألا تعدلوا فواحدة
“Apabila kamu takut tidak dapat berlaku adil maka (nikahilah) satu saja.”
Sedangkan di tempat lain Alloh Azza wa Jalla berfirman :
ولن تستطيعوا أن تعدلوا بين النساء ولو حرصتم فلا تميلوا كل الميل فتذروها كالمعلقة وإن تصلحوا فإن الله كان غفورا رحيما
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS an-Nisa` : 129)
Ayat 129 dalam surat an-Nisa` di atas sering dijadikan argumentasi oleh kaum anti poligami bahwa poligami itu sebenarnya tidak boleh. Karena Alloh mensyaratkan poligami itu harus adil sedangkan Alloh sendiri menyatakan bahwa manusia itu tidak mampu berlaku adil walaupun sangat ingin berbuat demikian. Benarkah demikian? Benarkah dua ayat di atas saling kontradiktif? Mari kita lihat penjelasan pakar tafsir al-Qur’an terhebat sepanjang masa, yaitu Imam al-Qurthubi. Beliau rahimahullahu berkata :
(( أخبر الله تعالى بعدم استطاعة تحقيق العدل بين النساء في ميل الطبع في المحبة والجماع والحظ من القلب ، فوصف الله تعالى حالة البشر وأنهم بحكم الخلقة لا يملكون ميل قلوبهم إلى بعض دون بعض . ولهذا كان (r) يقسم بين زوجاته ( في النفقات ) ، فيعدل ثم يقول : (( اللهم إن هذه قسمتي فيما أملك فلا تلمني فيما تملك ولا أملك )) .. ثم نهى الله تعالى عن المبالغة في الميل فقال : ( فلا تميلوا كل الميل ) أي لا تتعمدوا الإساءة – كما قال مجاهد – الزموا التسوية في القسم والنفقة لأن هذا مما يستطاع))
“Alloh Ta’ala memberitakan ketidakmampuan berlaku adil di antara isteri-isteri adalah di dalam kecondongan tabiat di dalam rasa cinta, jima’ (hubungan seksual) dan kecondongan hati. Alloh Ta’ala mensifati manusia bahwasanya mereka secara alami tidak memiliki kecondongan hati kepada satu wanita dan wanita lainnya [maksudnya hanya bisa condong kepada satu wanita saja, pent.]. Oleh karena itulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam membagi diantara isteri-isterinya dalam masalah nafkah secara adil, kemudian beliau bersabda : “Ya Alloh, ini adalah pembagianku yang aku miliki, maka janganlah Kau mencelaku atas apa Yang Kau Miliki namun tak aku tak mampu memilikinya.”... kemudian Alloh Ta’ala melarang dari berlebih-lebihan di dalam kecondongan, Ia berfirman : “Janganlah kamu terlalu condong”, yaitu janganlah kamu berlaku buruk kepada mereka –sebagaimana diutarakan oleh Mujahid- namun tetapkan persamaan di dalam pembagian dan nafkah dan ini adalah termasuk sesuatu yang dimampui.” [al-Jami’ li ahkamil Qur’an].Yaitu, keadilan di dalam masalah pembagian dan nafkah. Adapun keadilan di dalam rasa cinta dan kecondongan hati, maka ini suatu hal yang manusia tidak mampu berlaku adil seluruhnya. Namun, ketidakmampuan ini bukan artinya tidak ada rasa adil seluruhnya. Seluruh isteri tetap harus disayangi dan dicintai, diberikan perlindungan dan pengawasan yang sama, nafkah dan giliran jima’ yang sama. Oleh karena itulah Alloh melarang dari kecondongan secara berlebih-lebihan sehingga menyebabkan isteri-isteri lainnya terkatung-katung. Inilah yang dicela. Adapun berupaya tetap berbuat adil dan membagi kasih sayang semampunya, memberikan nafkah dan pembagian yang sama rata, maka inilah yang dimaksud dengan keadilan itu. Allohu a’lam bish showab.
Jadi, seseorang yang terlalu mencintai isteri keduanya sehingga menelantarkan isteri pertamanya, tidak memberinya nafkah yang layak dan sama dengan isteri kedua, tidak mendapatkan pembagian giliran yang sama dengan isteri kedua, tidak mendapatkan perhatian yang sama dan seterusnya. Maka ini adalah suatu kezhaliman dan ketidakadilan terhadap isteri pertama tersebut, dan ini termasuk hal yang dilarang dan dicela oleh Alloh, serta bukan suatu hal yang dituju di dalam poligami.
4. Pembagian Terhadap Para Isteri
Masalah ini berkaitan dengan poin sebelumnya dan penjabarannya. Pembagian yang dimaksud menurut ulama Islam adalah pembagian di dalam pembagian pangan, sandang, papan dan waktu. Kesemuanya ini harus dilakukan dengan adil. Ketidakadilan di dalam pembagian ini merupakan salah satu tindakan kezhaliman terhadap isteri dan wanita yang menjadi amanat dan tanggung jawabnya. Semua bentuk pembagian ini juga harus diberikan kepada anak-anak dari tiap isterinya.
Seorang yang berpoligami, apabila ia membelikan rumah untuk salah seorang isterinya, maka ia dituntut untuk memberikan hal yang sama pada isteri-isteri lainnya, kecuali apabila isteri-isteri lainnya ridha. Demikian pula, apabila seorang suami membelikan pakaian baru untuk salah seorang isterinya, maka ia juga dituntut untuk memberikan hal yang serupa pada isteri-isteri lainnya. Jangan hanya karena kecondongan cintanya kepada salah seorang isteri ia menelantarkan isteri-isteri lainnya dan berlaku tidak adil.
Demikian pula, apabila isteri keduanya diberi makan yang lezat dan bergizi, maka ia tidak boleh memberi makan isteri pertamanya seadanya yang kualitasnya di bawah makanan isteri keduanya. Semuanya harus dibagi secara adil. Termasuk pula pembagian waktu tidur bersama dan jima’, semuanya harus dibagi secara adil dan atas keridhaan bersama.
Anak-anak juga demikian, anak isteri kedua dan pertama haruslah diperlakukan sama dalam hal kebutuhan makanan, pakaian, pendidikan dan lain sebagainya. Jangan sampai terjadi anak isteri kedua disekolahkan di tempat pendidikan yang berkualitas sedangkan anak isteri kedua disekolahkan ditempat yang kualitasnya buruk. Semuanya harus dilakukan dengan adil walaupun berat dan sulit. Oleh karena itu, apabila tidak mampu berbuat adil maka satu isteri itu adalah lebih baik, namun apabila mampu maka berpoligami juga merupakan suatu hal yang mulia, apalagi apabila dibalik poligami itu ada unsur pertolongan kepada kaum wanita dan anak-anak terlantar.
MENEPIS KEKELIRUAN PANDANGAN TERHADAP POLIGAMI
Syubhat Pertama
Para penentang poligami menyatakan adanya larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ali untuk menikahi anak perempuan Abu Jahl dan mengumpulkannya dengan Fatimah binti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dengan menyandarkan kepada larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ali agar tidak mengumpulkan Fathimah dengan anak perempuan Abu Jahl, maka sebagian penentang poligami memberikan komentar dan mengatakan, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang Ali untuk menikah dengan anak perempuan Abu Jahl dan dikumpulkan bersama Fatimah. Bila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai teladan, maka kami melarang para suami menikahi wanita lain bersama dengan anak-anak perempuan kami, dan kamipun tidak melakukan poligami, karena ini termasuk di antara perkara-perkara yang bisa menyakiti orang-tua maupun isteri-isteri kami.
Jawab: Syubhat yang mereka lontarkan itu, hakikatnya sudah tertolak dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Artinya : Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja”.
Dalam ayat ini, Allah Azza wa Jalla membolehkan seorang laki-laki untuk menikahi wanita lebih dari satu, dan juga memerintahkan untuk menikahi satu isteri saja bila merasa khawatir tidak mampu berbuat adil. Adapun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah melarang Ali memadu Fatimah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menikah dengan sembilan isteri, maka ucapan beliau adalah hujjah, demikian juga dengan perbuatannya. Bantahan secara detail, di antaranya terdapat di dalam hadist itu sendiri. Pendapat ini lebih utama, sedangkan yang lainnya merupakan kesimpulan dan pendapat dari para ulama.
“Artinya : Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja”.
Dalam ayat ini, Allah Azza wa Jalla membolehkan seorang laki-laki untuk menikahi wanita lebih dari satu, dan juga memerintahkan untuk menikahi satu isteri saja bila merasa khawatir tidak mampu berbuat adil. Adapun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah melarang Ali memadu Fatimah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menikah dengan sembilan isteri, maka ucapan beliau adalah hujjah, demikian juga dengan perbuatannya. Bantahan secara detail, di antaranya terdapat di dalam hadist itu sendiri. Pendapat ini lebih utama, sedangkan yang lainnya merupakan kesimpulan dan pendapat dari para ulama.
Berikut adalah penjelasannya.
Pertama : Bantahan tersebut telah datang dalam nash hadist tersebut sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ تَجْتَمِعُ بِنْتُ نَبِيِّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِنْتُ عَدُوِّ اللهِ أَبَدًا
“Artinya : Tidak akan berkumpul putri Nabi Allah dengan anak perempuan musuh Allah selama-lamanya”.
Dalam riwayat Muslim :
مَكَانًا وَاحِدًا أَبَدًا
“Dalam satu tempat selama-lamanya.”
Dalam riwayat yang lain disebutkan:
عِنْدَ رَجُلٍ وَاحِدٍ أَبَدًا
Pada satu laki-laki selama-selamanya.
Maka ini termasuk di antara nikah yang diharamkan, yaitu mengumpulkan antara putri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan anak perempuan musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala . Demikian pendapat sebagian ulama.
Ibnu Tiin berkata,"Pendapat yang paling benar dalam membawa makna kisah ini adalah, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharamkan kepada Ali, yaitu tidak mengumpulkan putri beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan anak perempuan Abu Jahl karena akan menyakiti beliau, dan menyakiti Nabi hukumnya haram, berdasarkan ijma’. Adapun sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : 'Aku tidak mengharamkan perkara yang halal,' maknanya, dia (anak perempuan Abu Jahl) halal baginya kalau saja Fatimah bukan isterinya. Sedangkan mengumpulkan keduanya yang dapat menyakiti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka tidak boleh".[Fathul Bari (9/328)]
Imam Nawawi rahimahullah berpendapat, diharamkan mengumpulkan di antara keduanya dan makna sabda Nabi "Aku tidak mengharamkan perkara yang halal," maksudnya adalah, aku (Nabi) tidak mengatakan sesuatu yang menyelisihi hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala menghalalkan sesuatu, aku tidak akan mengharamkannya. Dan jika Allah mengharamkan sesuatu, aku tidak akan menghalalkannya. Dan aku, juga tidak diam dari pengharaman sesuatu, karena diamku berarti penghalalan sesuatu tersebut. Maka, ini termasuk di antara nikah yang diharamkan, yaitu mengumpulkan antara putri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan anak perempuan musuh Allah Subhanhu wa Ta’ala.[Syarhu Muslim (5/313)]
Pertama : Bantahan tersebut telah datang dalam nash hadist tersebut sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ تَجْتَمِعُ بِنْتُ نَبِيِّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِنْتُ عَدُوِّ اللهِ أَبَدًا
“Artinya : Tidak akan berkumpul putri Nabi Allah dengan anak perempuan musuh Allah selama-lamanya”.
Dalam riwayat Muslim :
مَكَانًا وَاحِدًا أَبَدًا
“Dalam satu tempat selama-lamanya.”
Dalam riwayat yang lain disebutkan:
عِنْدَ رَجُلٍ وَاحِدٍ أَبَدًا
Pada satu laki-laki selama-selamanya.
Maka ini termasuk di antara nikah yang diharamkan, yaitu mengumpulkan antara putri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan anak perempuan musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala . Demikian pendapat sebagian ulama.
Ibnu Tiin berkata,"Pendapat yang paling benar dalam membawa makna kisah ini adalah, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharamkan kepada Ali, yaitu tidak mengumpulkan putri beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan anak perempuan Abu Jahl karena akan menyakiti beliau, dan menyakiti Nabi hukumnya haram, berdasarkan ijma’. Adapun sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : 'Aku tidak mengharamkan perkara yang halal,' maknanya, dia (anak perempuan Abu Jahl) halal baginya kalau saja Fatimah bukan isterinya. Sedangkan mengumpulkan keduanya yang dapat menyakiti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka tidak boleh".[Fathul Bari (9/328)]
Imam Nawawi rahimahullah berpendapat, diharamkan mengumpulkan di antara keduanya dan makna sabda Nabi "Aku tidak mengharamkan perkara yang halal," maksudnya adalah, aku (Nabi) tidak mengatakan sesuatu yang menyelisihi hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala menghalalkan sesuatu, aku tidak akan mengharamkannya. Dan jika Allah mengharamkan sesuatu, aku tidak akan menghalalkannya. Dan aku, juga tidak diam dari pengharaman sesuatu, karena diamku berarti penghalalan sesuatu tersebut. Maka, ini termasuk di antara nikah yang diharamkan, yaitu mengumpulkan antara putri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan anak perempuan musuh Allah Subhanhu wa Ta’ala.[Syarhu Muslim (5/313)]
Kedua : Hadits ini menunjukkan di antara kekhususan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yaitu putri-putri beliau tidak boleh dimadu. [Fathul Bari (9/329)]
Ketiga : Hal ini khusus bagi Fathimah, karena dia telah kehilangan ibunya dan juga saudara-saudara perempuannya, sehingga tidak tersisa lagi orang yang bisa diajak bertukar pikiran atau meringankan beban pikiran, atau untuk menyampaikan rahasia apabila muncul rasa cemburunya. Berbeda dengan isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena jika mereka mendapatkan problem semisal di atas, maka mereka bisa mengadu kepada orang yang bisa menyelesaikan masalah tersebut, yaitu suami mereka, yakni Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ini disebabkan dengan apa yang ada pada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yaitu sifat lemah-lembut, kebaikan hati, menjaga perasaan. Sehingga semua isteri beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ridha dengan kebaikan akhlak dan seluruh sikap beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sehingga jika muncul kecemburuan, maka bisa segera teratasi dalam waktu cepat.
Keempat : Sesungguhnya hal itu bukan berarti larangan, akan tetapi maksudnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sikap percaya dirinya dan keteguhannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, beliau mengetahui bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala –dan ini termasuk karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada beliau- tidak akan mengumpulkan Fathimah dengan anak perempuan Abu Jahl. Seperti perkataan Sahabat Anas bin Nadhir tatkala saudara perempuannya mematahkan gigi seri seorang wanita, dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menegakkan qishash, akan tetapi Anas bin Nadhir berkata: "Apakah engkau hendak mematahkan gigi Rabi'? Tidak! Demi Allah . Engkau tidak mungkin mematahkan giginya, selama-lamanya. Maka keluarga wanita tersebut akhirnya mau menerima diyat dan gigi seri milik Rabi’tidak dipatahkan, sehingga berkatalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ مَنْ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّهُ
“Artinya : Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah, kalau dia bersumpah dengan nama Allah, Allah berkenan mengabulkannya” [Fiqh Ta’adud Az-Zaujat, 127]
Syubhat Kedua
Para penentang poligami menyatakan, tidak mungkin bagi para suami mampu berbuat adil di antara para isteri, dengan dalih firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Artinya : Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.” [An-Nisaa`: 3]
Dan Allah telah berfirman :
“Artinya : Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian” [An-Nisaa`: 129]
Jawab Yang dimaksud dengan “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil" dalam ayat ini adalah rasa cinta, kecondongan hati dan hubungan badan. Adapun perkara-perkara yang zhahir, seperti tempat tinggal, uang belanja dan waktu bermalam, maka wajib bagi seorang laki-laki yang mempunyai isteri lebih dari satu untuk berbuat adil.
Dikatakan oleh Imam Ibnu Taimiyyah: "Tidak boleh mengutamakan salah satu di antara para isteri dalam pembagian. Akan tetapi, bila dia mencintai salah satunya lebih dari yang lainnya, atau berhubungan badan lebih banyak dari yang lainnya, maka ini tidak mengapa. Dalam masalah ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menurunkan ayat-Nya :
“Artinya : Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian” [An-Nisaa` : 129]
“Yaitu dalam rasa cinta dan berhubungan badan".
Imam Nawawi dalam kitab Syarah Muslim menjelaskan : "Adapun rasa cinta, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih mencintai 'Aisyah dibandingkan dengan yang lainnya. Dan kaum Muslimin sepakat, bahwa menyamakan rasa cinta kepada semuanya bukan suatu kewajiban, karena ini diluar kemampuan seseorang kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendakinya. Adapun adil dalam bersikap, maka demikianlah yang diperintahkan". [Syarah Muslim (5/297)]
Imam Ibnu Hajar juga berpendapat senada. Beliau berkata, "Apabila sang suami memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan tempat tinggal bagi seluruh isterinya, maka tidak mengapa baginya jika dia melebihkan sebagian lainnya dalam hal kecondongan hati atau pemberian hadiah. [Fathul Bari (9/313)]
Dalam masalah keadilan ini, Syaikh Musthafa al Adawi memberikan dua peringatan.
Pertama : Menyamakan dalam berhubungan badan meskipun ini tidak wajib akan tetapi disunnahkan untuk berbuat adil dalam hal ini, ini lebih baik, lebih sempurna dan jauh dari sikap berlebih-lebihan dalam kecondongan hati, sebagaimana yang dikemukakan oleh sejumlah Ulama’. Imam Ibnu Qudaamah dalam kitab beliau “Mughni” mengatakan : Bila memungkinkan menyamakan dalam berhubungan badan maka ini lebih baik, lebih utama dan lebih sesuai dengan makna adil [Al-Mughni (7/235)]
Dalam kitab al Majmu’ Syarah al Muhadzab disebutkan, dianjurkan bagi suami untuk menyamakan dalam berhubungan badan, karena ini lebih sempurna dalam berbuat adil. Kalau dia tidak melakukannya, maka tidak mengapa. Karena dorongan untuk melakukan hubungan badan adalah nafsu syahwat dan rasa cinta. Dan tidak mungkin menyamakan di antara para isteri.
Oleh sebab itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Artinya : Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian” [An-Nisaa`:129]
Menurut 'Abdullah bin 'Abbas, yaitu dalam hal rasa cinta dan hubungan badan. 'Aisyah sendiri menjelaskan, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membagi di antara isteri-isteri beliau dan berbuat adil, kemudian (beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam) berkata: "Ya, Allah. Inilah pembagianku pada isteri-isteriku yang aku miliki, dan janganlah Engkau cela diriku pada apa yang Engkau miliki dan tidak aku miliki," yaitu hati. [Al-Majmu Syarah Al-Muhadzab (16/430)] Dan di bagian lain dikatakan: "Akan tetapi dianjurkan untuk menyamakan di antara para isteri dalam berhungan badan, karena ini yang menjadi tujuan".
“Artinya : Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian” [An-Nisaa`:129]
Menurut 'Abdullah bin 'Abbas, yaitu dalam hal rasa cinta dan hubungan badan. 'Aisyah sendiri menjelaskan, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membagi di antara isteri-isteri beliau dan berbuat adil, kemudian (beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam) berkata: "Ya, Allah. Inilah pembagianku pada isteri-isteriku yang aku miliki, dan janganlah Engkau cela diriku pada apa yang Engkau miliki dan tidak aku miliki," yaitu hati. [Al-Majmu Syarah Al-Muhadzab (16/430)] Dan di bagian lain dikatakan: "Akan tetapi dianjurkan untuk menyamakan di antara para isteri dalam berhungan badan, karena ini yang menjadi tujuan".
Kedua : Seorang suami wajib untuk memenuhi kebutuhan biologis isterinya, tentunya sesuai dengan kemampuannya. Kalau ia tidak melakukannya, maka dia tidak akan merasa aman dari kerusakan, yang mungkin terjadi pada isterinya, bahkan terkadang dapat menyebabkan permusuhan, kebencian dan perselisihan di antara keduanya. [Fiqh Ta’adud Az-Zaujat, hal. 98 dengan beberapa tambahan]
Syubhat Ketiga.
Para penentang poligami berpendapat, bahwa poligami justru akan melahirkan banyak persoalan yang mengancam keutuhan bangunan mahligai rumah tangga. Sering timbul percekcokan. Belum lagi efek domino bagi perkembangan psikologi anak yang lahir dari pernikahan poligami. Sering mereka merasa kurang diperhatikan, haus kasih sayang dan, celakanya, secara tidak langsung dididik dalam suasana yang kedap perselisihan dan percekcokan tersebut. [Perkataan Muhammad Abduh seorang tokoh yang controversial dari Mesir, Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar IV, Th. 347-350 dinukil dari situs JIL]
Jawab Pendapat ini dapat kita bantah ini sebagai berikut: Perselisihan yang muncul di antara para isteri merupakan sesuatu yang wajar, tumbuh dari rasa cemburu yang merupakan tabiat wanita. Untuk mengatasi hal tersebut, tergantung kepada kemampuan suami dalam mengatur urusan rumah tangganya, keadilannya terhadap isteri-isterinya, rasa tanggung jawab terhadap keluarganya, demikian juga tawakalnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Apabila ini semua sudah terpenuhi, maka akan tegaklah kehidupan keluarganya, diliputi dengan rasa kasih dan sayang di antara anggota keluarganya. Atau kalau tidak terpenuhi, akan hancurlah keluarga tersebut, baik keluarga yang berpoligami ataupun tidak. Kenyataannya dalam kehidupan rumah tangga tampak seperti itu, walaupun menikah hanya dengan satu isteri (monogami). Bahkan banyak terjadi pertengkaran, hingga mengantarkan pada perceraian, dan menyebabkan anak-anak menjadi terlantar.
Memang ada benarnya, terkadang pertengkaran menimpa keluarga, orang yang melakukan poligami, tetapi hal ini terjadi karena kurang bertanggung jawabnya sang suami, dan karena ketidak-adilannya terhadap para isterinya. Ini membutuhkan jalan penyelesaian, bukan dengan cara menolak praktek poligami, yang di dalamnya terdapat banyak kebaikan. Perbuatan dan perilaku individu, tidak bisa dijadikan sebagai dalil untuk menolak diperbolehkannya poligami.
Syubhat Keempat.
Para penentang poligami mengatakan, Islam, sebagai agama yang diturunkan untuk menegakkan keadilan, sama sekali tidak pernah memerintahkan umatnya berpoligami. QS Annisa ayat 3 kerap kali dijadikan dalih pembenar. Padahal, ulama membaca ayat tersebut tidak seragam.
Setidaknya ada 3 pendapat menilai ayat tsb. Pertama, boleh tanpa syarat. Kedua, boleh dengan syarat darurat; dan Ketiga, haram lighairihi. Pendapat ketiga mengisyaratkan bahwa pada esensinya, poligami tidaklah haram. Namun, karena ekses yang ditimbulkannya luar biasa membawa kemudharatan, maka poligami menjadi haram [Disampaikan Musdah Mulia, Sekjen ICRP (Indoensian Conference On Religion and Peace), dalam kesempatan tatap muka dengan beberapa wartawan di Jakarta (8/12)]
Jawab Subhanallah! Ini merupakan kedustaan besar atas agama Allah dan ayat-ayat-Nya. Bagaimana mungkin dikatakan bahwa Islam sama sekali tidak pernah memerintahkan umatnya berpoligami? Bagaimana dengan ayat yang telah disebutkan Allah Subhanhu wa Ta’ala , yaitu :
“Artinya : Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat” [An-Nisaa` : 3]
Para ulama menjelaskan tentang tafsir ayat ini, bahwasanya hukum asal berpoligami adalah boleh. Bahkan sebagian ulama mengatakan perkara ini dianjurkan bagi yang mampu.
Syaikh Mohammad Amin mengatakan dalam kitab tafsir Adwa’ul-Bayan, bahwasanya Islam membolehkan menikah dengan lebih dari satu isteri, (yaitu) dua, tiga atau empat [Adhwa’ul Bayan (8/441)]
Juga Imam Ibnu Katsir, di dalam tafsir beliau tentang ayat ini menyebutkan, nikahilah wanita yang kalian kehendaki selain dari mereka, jika kalian menghendaki dua orang, tiga orang atau empat orang [Tafsir Al-Qur’anul Azhim, Imam Ibnu Katsir (1/598)]
Demikian juga perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : "Nikahilah wanita yang banyak melahirkan anak dan cinta kepada suami. Sesungguhnya aku membanggakan banyaknya kalian di hadapan umat-umat lainnya". [Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud no. 2050]
'Abdullah bin 'Abbas juga mengatakan: "Menikahlah! Sesungguhnya sebaik-baik umat ini adalah yang paling banyak isterinya". [Diriwayatkan oleh Imam Bukhari no. 5069]
Maknanya, dengan banyaknya menikah akan memperbanyak umat, dan inilah yang menjadi tujuan pernikahan. Para ulama’ menjelaskan, boleh melakukan poligami, dengan syarat harus bersikap adil. Dalam hal ini, adil yang dimaksud adalah dalam perkara yang zhahir; bukan yang batin, seperti rasa cinta, kecondongan hati, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.
Adapun perkataan "namun, karena ekses yang ditimbulkannya luar biasa membawa kemudharatan, maka poligami menjadi haram".
Timbul pertanyaan, apakah sesuatu yang dibolehkan oleh Allah dan banyak membawa kebaikan akan menimbulkan kemudharatan? Allah-lah Yang paling mengetahui tentang kebaikan bagi hamba-hamba-Nya, dan yang paling bijaksana dalam menetapkan hukum-Nya. Maka kalau dalam berpoligami terdapat kekurangan yang disebabkan perilaku sebagian individu, maka tidaklah kemudian disama-ratakan hukumnya. Penilaian yang mengeneralisir ini, sungguh suatu penilian yang sangat keliru.
Demikian sebagian di antara pandangan keliru yang dilesatkan para musuh Islam kepada kaum Muslimin tentang poligami. Sehingga bisa jadi menumbuhkan keragu-raguan di kalangan kaum Muslimin pada umumnya. Dengan demikian, setahap demi setahap keraguan ini bisa menyebabkan penolakan terhadap syari'at Allah secara keseluruhan. Kita berlindung dan memohon pertolongan kepada Allah, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu membimbing kita pada kebenaran. Tetap berpegang teguh dengan al Qur`an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Wallahul-Musta'an.
kutipan diambil dari buku: Poligami Dihujat
oleh: Abu Salma Al Atsari
oleh: Abu Salma Al Atsari

Tidak ada komentar:
Posting Komentar